Posted by : Unknown Senin, 15 Agustus 2011


Todung Mulya Lubis


Payung yang Mulia untuk yang Tersingkir


Todung Mulya Lubis
Tampan dan kaya, tetapi Todung Mulya Lubis bukannya bermain mata dengan artis-artis cantik. Malah membela (Si) Marsinah, buruh wanita yang di mata rezim militeristis Suharto harus mati dan didiamkan. Dia besar karena perjuangannya membela hak-hak asasi manusia dari mereka yang tertindas. Sikap hidup seperti itu membuat Todung menjadi sebuah paradoks. Semestinya dia hidup gemerlap sebagaima kehidupan yang selalu diasosiakan film-film murah atau sinetron. Todung jauh dari gambaran hidup seperti itu. Dia tidak terbawa arus yang melambung dalam kemewahan. Tidak main golf yang sekali main green fee-nya bisa Rp 250.000. Dia bina tubuhnya dengan sepeda stasioner, jalan kaki, dan vitamin C dosis tinggi. Makan sekedar memenuhi kebutuhan untuk bertahan hidup. Dia doyan makanan kampung, berlauk tempe dan tahu. Steak yang disuguhkan restoran-restoran mahal bukan seleranya. Dan dia tak tertarik mampir ke situ.


Sosoknya sebagai pengacara akan selalu dikenang, terutama ketika dia mengalahkan mantan Presiden Suharto dalam perkara tokoh rezim Orde Baru itu versus majalah TIME. Dia mencatat kemenangan dalam perkara itu sebagai puncak pencapain kariernya. Walau dia sempat menghadapi teror, diikuti, dan kantornya digarong untuk mendapatkan dokumen yang berkaitan dengan perkara yang dia tangani. ”Itu kemenangan yang monumental. Karena Suharto tak pernah terkalahkan selama ini,” katanya berbagi kemenangan dengan Dolorosa Sinaga, Martin Aleida, Hotman J. Lumban Gaoldari TAPIAN, yang mengunjunginya Jumat, 1 Muharram, 18 Desember 2009 lalu, di rumahnya yang besar dan nyaman di Cinere, Jakarta Selatan.
Kemewahan jam tangan berlapis emas yang melingkar di pergelangannya, juga dua handphone blackberry yang digenggamnya lenyap daya tariknya dibandingkan dengan kaos katun berwarna hitam dengan tulisan yang menantang persis di jantungnya: ”Saya Cicak Berani Lawan Buaya.”
Dalam pergulatannya untuk memenangkan kasus TIME melawan Suharto, berbagai macam teror yang dia terima dalam bentuk telepon, surat, SMS sampai ancaman fisik. ”Saya hanya pasrah kepada yang di Atas. Kalau tidak merasa melakukan kesalahan tidak perlu takut,” katanya. Dia bilang, semua orang yang punya keterikatan seperti dia akan mengalami ancaman serupa. Selama tiga tahun dia tak boleh bepergian ke luar negeri, paspornya dirampas. Dilarang memberikan ceramah maupun mengajar. ”Kantor saya dihancurkan, termasuk file-file saya,” katanya. Suharto marah karena dia terlalu keras, membela tahanan politik, termasuk membela Jenderal H.R. Dharsono, mantan panglima Siliwangi yang membangkang terhadap kekuasaan.
Sebenarnya, cita-cita Todung adalah diplomat. Dia terbuai oleh angan-angannya itu. Sedari duduk di bangku sekolah dasar dia tenggelam membaca biografi orang-orang besar, seperti biografi presiden pertama Amerika Serikat, George Washington, juga Thomas Jefferson, dan Benjamin Franklin. Tetapi, apa mau dikata, bukan dia yang berkuasa atas nasibnya sendiri. Dan, kalaupun cita-citanya untuk menjadi seorang diplomat memang kesampaian, barangkali, jejak yang ditinggalkannya dalam sejarah mungkin tak sebesar seperti sekarang.
Dia hanya akan dikenang sebagai seorang diplomat yang tak berdaya dari sebuah negara yang terus-menerus didera malu di dunia internasional, terutama di bidang hak-hak asasi manusia.
Amerika Serikat dan Aceh menjadi penentu jalan hidupnya. Selain karier, dia punya hubungan khusus dan kebetulan dengan negara adikuasi itu. Sama-sama merayakan ulangtahun 4 Juli (dia lahir di Muara Botung, Tapanuli Selatan, 60 tahun yang lalu.) Todung belajar ilmu hukum di Harvard University dan memperoleh gelar Ph.D in law dengan promotor Profesor Daniel S. Lev, seorang yang sangat berwibawa di bidang politik hukum Indonesia. Sarjana yang berkebangsaan Amerika Serikat itu, adalah guru dan sahabat baginya, dalam suka maupun duka.
Sementara orang Aceh yang ikut menempa dirinya adalah Yap Thiam Hien, pendekar hukum yang tak gepeng oleh linggis kediktatoran Suharto. Pengacara inilah yang dengan keyakinan hukum dan hati nuraninya, yang melebihi advokat lain ketika itu, membela mereka yang dituduh aparat hukum Orde Suharto terlibat dalam Gerakan Tigapuluh September 1965, terutama Dr. Subandrio, wakil perdana menteri dalam pemerintahan Sukarno.
Kemilau keteladanan Yap, mengilhami Todung untuk mendirikan Yap Thiam Hien Award, sebagai penghargaan tertinggi bagi mereka yang berprestasi besar dalam mempertahankan hak-hak asasi manusia. Sebagai sebuah kata, Todung berarti payung. Mulya adalah mulia. Ketetapan hatinya ibarat payung yang tetap berkembang walau diterpa angin atau hujan. Banyak yang menentangnya ketika mengadopsi nama yang terdiri dari tiga kata itu, tersebab Yap adalah Tionghoa (atau Cina, kata orang yang ingin merendahkan derajat golongan minoritas itu). Lagipula, Yap ’kan seorang Kristen!?
Ada dua orang lagi yang takkan dia lupakan. Ayahnya, Sati Lubis, orang yang pertama-tama mendidik anak kedua dari tujuh bersaudara ini mengenai demokrasi dengan membiarkannya besar mengikuti pilihan hatinya sendiri. Sati adalah salah seorang pendiri Antar Lintas Sumatera (ALS), perusahaan angkutan yang menghubungkan kota-kota di Sumatera dengan Jawa. Todung terpesona pada Mahatma Gandhi, sosok yang jujur, sederhana, dan anti-kekerasan.
Jalan hidup Todung menunjukkan bahwa tajamnya kepekaan perasaan menentukan jalan hidup. Katanya, dia mulai memasuki kehidupan melalui seni. Dulu, semasa masih di sekolah menengah atas, dan tak lama sesudahnya, dia sering menulis puisi, cerita pendek, dan main teater. ”Di sinilah kepekaan saya sebagai manusia diasah,” ucapnya dalam sebuah wawancara. Bersama penyair wanita Rayani Sriwidodo dia menerbitkan antologi puisi ”Pada Sebuah Lorong,” tahun 1968. Dia seangkatan dengan Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi W.M.
“Mereka tekun, ulet, dan terus berkarya. Sementara saya tidak. Saya masuk fakultas hukum. Saya tidak bisa total. Menjadi seniman juga membutuhkan komitmen yang solid,” katanya.
Ketika masih duduk di bangku universitas, dia sudah menjadi seorang aktivis. Protes terhadap pembangunan Taman Mini Indonesia merupakan debut awalnya sebagai seorang pembangkang kekuasaan. Dia termasuk yang beranggapan peningkatan taraf hidup guru dan pelayanan publik yang baik lebih mendesak daripada sebuah taman yang cuma sekedar tiruan dari apa yang telah dikerjakan di Muangthai.
Menjelang kuliah hukumnya selesai di Universitas Insdonesia (lulus tahun 1974), Todung magang di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Bidang Nonlitigasi. Memandang jauh ke depan, dia beranggapan masalah hak-hak asasi manusia akan menjadi masalah mendesak. ”Ketika di Amerika, saya lihat laporan tentang negara kita (di bidang hak-hak asasi manusia) dibuat orang asing,” katanya mengenang. Todung kemudian terdorong untuk mendirikan divisi hak-hak asasi manusia di LBH. Tahun 1979, untuk pertama kali, LBH menerbitkan laporan tentang keadaan hak-hask asasi manusia di Indonesia, yang menjadi asal-mula laporan serupa yang diterbitkan secara rutin sampai sekarang.
Todong merasa berhutang budi pada LBH, yang disebutnya sebagai almamaternya yang kedua. Lembaga bantuan hukum itulah katanya yang membuka mata dan hatinya untuk bergumul secara lebih intens dengan soal-soal hukum, soal-soal keadilan. ”Dan saya kira pada akhirnya itu yang membawa saya sampai pada posisi seperti sekarang,” katanya. Di sini dia juga menyaksikan bagaimana Fauzi, temannya sesama mahasiswa yang dia masuk ke LBH, menjadi seorang yang kemudian menggugah kesadarannya tentang betapa agungnya perjuangan yang seseorang tak mengenal pamrih. Fauzi bergerak untuk menyadarkan buruh tentang ha-hak mereka dengan mengunjungi mereka dari rumah-ke-rumah. Jauh dari gemerlap publikasi. Fauzi meninggal karena sakit. Ketika membacakan elegi untuk Fauzi, sebagai salah seorang penerima Yap Thiam Hien Award, Todung kelihatan menangis di atas panggung Hotel Borobudur, di mana acara itu berlangsung pertengahan Desember lalu.
Jalan yang dia tempuh memang tidak mudah, tetapi nasib baik menyertai Todung. Gerakan mahasiswa yang menuntut perubahan terhadap jalan yang ditempuh pemerintah, yang menyebabkan ketimpangan sosial yang parah, mencapai puncaknya 15 Januari 1974. Simbol-simbol Jepang, yang dituduh mengeduk keuntungan dari keadaan perekonomian Indonesia waktu itu, menjadi sasaran. Gedung Astra di Jalan Sudirman, Jakarta, dibakar. Juga Pasar Senen. ”Orde Baru mengalami krisis yang hampir-hampir tidak mampu diatasinya. Terjadi vakum kekuasaan beberapa jam yang seharusnya sangat memungkinkan kudeta,” tulis sosiolog Daniel Dhakidae dalam pengantar ”Dari Kediktatoran sampai Miss Saigon,” sebuah kumpulan wawancara berbagai media dengan TODUNG MULYA LUBIS.
Puluhan aktivis ditangkap dan dihukum waktu itu. Todung seharusnya merasakan risiko dari kesejajaran pikiran dan kegiatannya dengan tokoh-tokoh yang terlibat dalam gerakan tersebut, tapi keajaiban menyelamatkannya. Sepanjang Desember 1973 sampai 14 Januari 1974, dia mengikuti ”Asia Pacific Student Leaders Program,” untuk mengenal Amerika Serikat yang diselenggarakan oleh Departremen Luar Negeri negara itu. Dia berada kembali di Indonesia pada saat gerakan mahasiswa di Jakarta, Bandung, Yogyakarta sudah sampai di puncaknya. ”Dengan demikian namanya mungkin tidak terlalu sering masuk ke dalam catatan para agen intelijen Orde Baru,” kata Daniel dalam pengantarnya.
Selama 18 tahun lamanya dia mengabdi untuk penegakan hukum melalui LBH. Lembaga ini jugalah yang membuka pintu jodohnya. Ketika bertugas selama enam bulan di Surabaya, untuk manangani kasus penggusuran, dia bertemu dengan Dokter Gigi Damiyati Soendoro. Setelah berpacaran selama lima bulan, mereka melangsungkan pernikahan 5 Juni 1983. Lengkaplah sudah yang diberikan LBH kepadanya. Jalan baru terbuka di depannya. Todung harus mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Lantas dia mendirikan kantor pengacara Lubis Santosa & Maulana.
Dia tidak mengatakan ada batas waktu untuk pengabdian. Ada masa untuk terbang tinggi-tinggi, entah ke mana. Dia telah menemukan kesempatan yang baik untuk mengatakan: ”Saya ini sudah kerja selama 18 tahun di LBH. Saya pikir itu sudah cukup lama. Saya kira saya sudah membayar sumbangan sosial saya kepada masyarakat, kepada bangsa.” Sudah saatnya dia memberikan arti yang lebih besar bagi landasan yang turut dia bangun. Dunia aktivis tidak seluruhnya dia lupakan. Sementara hoki-nya sebagai seorang profesional juga membawa keberuntungan. Dia tak suka pada pertanyaan yang menyangkut penghasilannya. Tapi, diperkirakan Todung menerima legal fee antara $375 sampai $550 per jam.
Tapi tak semua kasus membuat koceknya tambah menggelembung. Menjadi mesin uang bukan pilihannya. Ada sesuatu dalam hidup ini yang ingin dia capai. Integritas. Yang dia rambah sejak dia mengenal tulis-menulis, dan malahan menjadi wartawan ”Indonesia Raya” dan ”Sinar Harapan.” Tidak semuanya harus dihitung dengan uang. Katakanlah kasus yang menyangkut pers dan perkara politik. Dan dia bukanlah pengacara yang turut dalam koor besar para advokat ”hitam” yang disindir publik dengan plesetan, ”Maju Tak Gentar Membela Yang Bayar!”
Ketika memenangkan Jeffrey Winters melawan Menko Ginanjar Kartasasmita, guru besar ekonomi asal Amerika Serikat itu bertanya, ”Berapa utang saya pada Anda?” Jawab Todung: ”Tarif saya dalam dolar, sekian per jam.”
”Kok tinggi sekali?”
”Saya memang mahal.”
”Ya, sudah, kalau begitu, saya tidak bayar.”
”Nggak apa-apa!”
Sebagai imbalan jasanya, Jeffrey membelikan satu stel jas. Tetapi, apa mau dikata, begitu dicoba, jas itu kedodoran!
Pengabdian yang panjang, popularitas yang mengawang, kemapaman finansial yang sudah tercapai, apakah itu puncak yang menjadi obsesi Anda? Todung tidak kaget dengan pertanyaan yang diajukan tim TAPIAN. Dia sudah siap dengan jawaban tentang rencanya untuk meletakkan dasar yang lebih kuat lagi pada landasan yang sudah dia bangun selama dia menjadi aktivis.
”Usia saya sudah 60. Sudah waktunya fading out. Saya ini sudah tidak seratus persen pengacara. Jadi, saya keliling, berkhotbah untuk penegakan hukum, untuk transparansi. Masalah yang dihadapi kantor saya, ada sekitar 30 lawyer yang menangani.”
Baginya, penegakan hukum kita sekarang carut-marut. Pasal pencemaran nama baik, sekarang tidak boleh lagi dipertahankan, harus dicabut, paling tidak teman-teman media mengatakan itu. Kesadaran baru ini menguatkan gerakan untuk tumbuhnya good governance, tata-kelola pemerintahan yang baik, dan tata kelola perusahan swasta yang baik.
Pada kasus Prita ada unsur kolusi di sana. Kemarin baru terungkap bahwa selama ini jaksa-jaksa yang menangani perkara itu mendapat check up gratis dari Rumah Sakit Omni International.
Apa itu korupsi? Mencuri itu ’kan dalam bahasa yang lain adalah korupsi. Korupsi itu ada dua kategori. Korupsi karena kebutuhan, atau corruption by needs. Orang korupsi karena tidak punya pendapatan yang memandai. Pegawai negeri yang hanya menerima gaji Rp 600.000 atau satu juta rupiah, tetapi punya anak empat. Bagaimana pun dia tidak bisa hidup satu bulan dari uang tersebut. Dia pasti melakukan korupsi kecil-kecilan, karena korupsi besar dia tidak mungkin lakukan. Dia tidak dalam posisi mengeluarkan izin yang memerlukan sebuah tanda tangan yang bisa dijadikan uang.
Orang-orang kecil mungkin tidak tahu apa yang dia lakukan. Jadi mungkin juga dia beranggapan masa’ hanya mencuri semangka bisa dipenjara. Nah, hal semacam ini bisa terjadi. Jaksa dan hakim harus punya rasa keadilan dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini.
Korupsi kategori kedua adalah korupsi gede-gedean, corruption by greed atau korupsi karena rakus. Ini dilakukan oleh pejabat-pejabat yang mengeluarkan izin usaha. Nah, ini adalah korupsi karena memiliki kekuasaan. Korupsi yang terjadi karena kuasa yang diberikan tanpa kontrol.
Korupsi juga bisa dilakukan oleh mereka yang punya knowledge, punya pengetahuan. Misalnya, dengan mengotak-atik teknologi, dengan memindahkan uang dari rekening yang satu ke rekening yang lain. Dengan kemampuan menggoreng saham, mereka bisa menghasilkan uang yang banyak. Dan dengan kemampuan membuat proposal yang baik ke satu instansi pemerintah daerah, seseorang bisa mendapat satu proyek. Nah, ini semua adalah korupsi gede-gedean.
Kalau dilihat dari perspektif hukum, hukum di Indonesia ini kan tidak satu. Apakah penduduk di kampung, orang yang buta huruf, bisa mengerti hukum? Yang mereka tahu hanya hukum adat mereka yang tidak tertulis itu, yang merupakan warisan nenek-moyang mereka. Dengan sikap seperti itu, mereka tidak menganggap hal itu mencuri. Nah, ketika menghadapi kenyataan seperti ini, hakim kan mestinya arif dan bijaksana. Orang yang hanya mencuri kakao masa’ harus dihukum. Orang yang mencuri semangka itu tidak layak dihukum karena masalah ini ada acuannya dalam hukum adat setempat.
Pendidikan kita kan belum bisa memberikan pencerahan dan kesadaran bahwa ada hak dan kewajiban kita di dalam hukum. Itu dalam perspektif yang sangat sederhana. Soal Prita, dia tidak lagi orang yang miskin sama sekali, dan dia pasti tahu hukum. Dia orang yang terdidik yang memamfaatkan teknologi dalam memperjuangkan haknya, tetapi kemudian dijebloskan ke dalam penjara.
Fenomena terjadi adalah ketika simpati publik mendukung dia. Kasus hukum Bibiet dan Chandra dalah puncak dari gunung es permasalahan hukum kita, carut-marut hukum kita. Selama ini KPK memberantas korupsi dengan berani. Tetapi, karena adanya kepentingan, maka muncul kriminalisasi terhadap KPK.
Ketika saya masuk dalam Tim-8, kita panggil semua yang berkaitan. Ternyata tuduhan terhadap Bibiet dan Chandra tidak menemukan bukti bahwa mereka menyalahgunakan wewenang dan menerima suap. Maka, tidak ada pilihan lain kecuali harus membebaskan mereka berdua. Tetapi, puncak penghinaan terhadap nalar kita adalah ketika seorang Anggodo bisa mengatur kejaksaan dan kepolisian. Dan, nyatanya, sampai saat ini Anggodo belum juga ditangkap. Padahal, tidak harus ada laporan dari siapa pun, polisi sudah bisa menangkapnya dengan fakta-fakta yang ada. Tetapi, alasan polisi untuk tidak menangkapnya karena tidak ada yang melapor.
Sambil menunjukkan foto Anggodo dalam pakaian resmi sebagai sindiran facebookers, Todung menganggap pengakuan Anggodo dalam rekaman yang diperdengarkan Mahkamah Konstitusi merupakan penghinaan terhadap korps kepolisian. Perkembangan yang menarik dari gerakan ”Parlemen dunia maya” ini adalah tiada ideologi. Ada dari Islam garis keras, Muhammadiyah, NU, Kristen dan siapa saja. ”Parlemen dunia maya” ini sangat kuat, bisa menghimpun jutaan facebookers. Walaupun di lapangan barangkali mereka hanya bisa menghimpun seribu orang, karena masalah penghimpunan massa di lapangan sudah lain soalnya.
Carut-marut penegakan hukum ini menjadi dosa kolektif kita, tidak boleh mempersalahakan satu pihak. Wartawan pun juga ada yang menyalahgunakan profesinya. Kita tahu beberapa wartawan yang menjadi calo hukum. Di daerah, halaman surat kabar bisa dibeli. Jadi, ada juga dosa wartawan.
Angin dan badai ketidakadilan tidak akan ada ujungnya. Karena itu payung-payung yang mulia di bidang hukum tumbuhlah lebih banyak lagi. Dan, Todung Mulya Lubis janganlah tinggalkan medanmu

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Bengkulu

Umum

Teknologi

Popular Posts

Copyright © Si Bengkulu -Lupunyagaya- Powered by Blogger - Designed by Bengkulu24Jam