Posted by : Unknown Jumat, 05 Agustus 2011




Kesaksian berikut ini bisa memberi gambaran betapa besarnya kekuatan fotografi, dan seberapa dalam pemahaman para pemimpin RI terhadap kekuatan itu:


Pada Aksi Polisionel Belanda yang ke-II, Desember 1948, hubungan antara militer dan sipil RI mengalami keretakkan. Panglima Besar Jenderal Sudirman yang terus bergerilya walau dalam keadaan sakit keras kecewa terhadap sikap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta. Soekarno, kendati pernah berjanji akan ikut bertempur, membiarkan dirinya ditahan ketika tentara Belanda menyerbu Yogyakarta. Pada tanggal 7 Juli 1949, setelah Belanda dipaksa mundur dan Soekarno-Hatta kembali ke Yogyakarta, Letnan Kolonel Soeharto yang didampingi fotografer Frans Mendur dari IPPHOS dan wartawan tulis Rosihan Anwar ditugaskan untuk menjemput Jenderal Sudirman dari markas gerilyanya di dekat Wonosari. "Untuk menghindari kesan telah terjadi perpecahan," Rosihan Anwar mencatat.


Keesokan harinya, Frans Mendur ikut rombongan Sudirman yang bertolak menuju Yogyakarta; dari perjalanan yang menembus hutan dan bukit inilah ia membuat seri foto terkenal yang menggambarkan Sudirman ditandu prajuritnya. Saat itu, sang Jenderal hidup dengan paru-paru yang tinggal sebelah. Di Yogyakarta, Soekarno dan Hatta menanti di beranda depan kediaman Presiden yang luas. Beberapa wartawan sudah berkumpul di sana. Di antaranya adalah fotografer Antara Abdoelwahab Saleh dan M. Sayuti. Kebetulan keduanya pada hari itu tidak memotret karena kehabisan persediaan film.


"Ketika kami tiba, suasana sangat tegang," tutur Tjokropranolo, pengawal pribadi Panglima Besar (belakangan menjabat Gubernur DKI). Soedirman hanya berdiri kaku dengan sebelah tangannya menggenggam tongkat, tapi Soekarno serta-merta merangkul sosoknya yang ringkih. Seketika itu pula matanya menangkap sosok Frans Mendur yang memegang kamera.
- "Momennya dapat tidak?" tanya Bung Karno kepada Frans Mendur.
Kepala IPPHOS di Yogya itu menggeleng.
- "Terlalu cepat," jawabnya.
Pada saat itu kepala BFI R.M. Soetarto yang datang terlambat, tiba di serambi. Ia, sebagaimana M. Sayuti, mendengar instruksi Presiden RI kepada Frans Mendur.
- "Kalau begitu diulang adegan zoentjesnya," kata Bung Karno. 
Frans Mendur mematuhi perintah presiden. Demikian pula sang Jenderal. 


Puluhan tahun kemudian, foto inilah yang muncul di buku-buku sejarah. Dibawahnya besar kemungkinan kita akan mendapatkan kalimat yang bombastis, yang salah satu contohnya bisa kita baca dalam buku berjudul Merdeka atau Mati karya Yusni Y. Bahar (1983):


"Panglima Tertinggi Bung Karno dan Panglima Besar Sudirman laksana kakak-adik yang telah sekian lama tak bersua...Rindu yang tertanam dan tertahan, menjelmakan sikap yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata."
(c) 2001: Yudhi Soerjoatmodjo, Kurator 

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Bengkulu

Umum

Teknologi

Popular Posts

Copyright © Si Bengkulu -Lupunyagaya- Powered by Blogger - Designed by Bengkulu24Jam